HeadlineNTB (Bima) -Sidang kasus pencabulan anak dibawah umur yang terjadi di wilayah Desa Kananga Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, sudah masuk dalam persidangan tuntutan dakwaan secara daring di Pengadilan Negeri (PN) Bima.
Namun pada sidang tuntutan dakwaan yang disampaikan Jaksa dalam persidangan yang dilakukan secara daring pada tanggal 28 Desember 2021 yang lalu di Pengadilan Negeri Raba Bima, Jaksa hanya menuntut pelaku dengan hukuman 7 tahun penjara.
Sementara paman korban, Ferdiansyah dalam press realasenya, Rabu (29/12/2021) kemarin, menilai tuntutan Jaksa tersebut lebih rendah dan tidak sesuai atas keberhasilan APH di Bima yang mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia pada tahun 2020.
“Kami dari keluarga korban menilai tuntutan Jaksa terlalu rendah dan sangat tidak sebanding dengan efek psikologis yang ditimbulkan pada korban akibat kejadian ini. Mengingat kasus asusila yang cukup tinggi terjadi di daerah Bima termasuk pelaku pencabulan anak dibawah umur sangat berbahaya berada ditengah masyarakat,” tandas Ferdiansyah.
Keluarga korban menuntut hukuman yang seberat beratnya bagi pelaku, untuk itu kepada Penegak Hukum (APH) diminta agar tidak “bermain-main” dalam kasus hukum pencabulan anak dibawah umur, tuntutan hukuman agar menjadi efek jera yang berat bagi oknum asusila dan sebagai peringatan keras dalam upaya memberantas penyakit sosial di masyarakat.
Dalam kejadian itu, lanjut Ferdiansyah, pelaku pencabulan Inisial Is (45) mengakui telah menyetubuhi korban Melati (nama samaran) secara berkali-kali hingga terjadi hamil dan kini melahirkan anak di Panti Rehabilitasi Paramita Provinsi NTB.
Pelaku inisial Is melancarkan aksinya terhadap Melati (16) di Toko miliknya yang berjarak selang 5 rumah dari tempat tinggal korban. Modus yang dilancarkan pelaku selama ini sering mengembalikan uang belanja anak kecil, memberikan makanan, minuman atau barang apa saja yang ada di toko, setelah menjebak korban dengan rayuan dan iming-imingan uang, korban ditarik di dalam bilik untuk melancarkan aksi bejatnya dan memberikan uang kepada korban pada saat pulang.
Pelaku memiliki istri inisial Y (44) dan tidak berada di lokasi sehingga tidak mengetahui aksi bejat suaminya, namun Y mengetahui bahwa pelaku memiliki anak hasil perselingkuhan dengan perempuan inisial S (40) hingga mengakibatkan perceraian pada rumah tangga S.
Selain itu, ungkap Ferdiansyah, aksi tidak senonoh pelaku terhadap anak korban lainnya tidak terungkap sebagai fakta dalam persidangan. Hal ini diakui paman korban F (36) bahwa adik dan sepupu korban inisial K (12), A (7), I (12), R (12), dan M (10) dikasih uang setelah itu diraba-raba area sensitifnya, namun tidak berani bercerita dan terungkap pengakuan tersebut setelah kasus ini dibawah ke ranah persidangan.
“Ada dugaan pelaku adalah pedeofil dan masih banyak korban yang mendapat perlakuan tidak senonoh ketika anak-anak berbelanja di toko pelaku, namun tidak ada yang berani melapor karena alasan malu dan aib,” kata Ferdiansyah.
Terkait perlindungan hukum, korban Melati ini terus mendapat perhatian dan pendampingan serius dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kabupaten Bima dan Unit Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Dinas Sosial Kabupaten Bima.(luis)